“Ibu Muda di Saf Anak-anak: Potret Buram Pernikahan Dini di Sekitar Kita”

Ramadhan lalu, saya pergi ke masjid seperti biasa. Ada suasana khusyuk yang biasanya hadir ketika kita melangkahkan kaki ke rumah ibadah di bulan suci. Tapi kali ini, ada pemandangan yang menyisakan renungan dalam hati saya hingga sekarang.

Di barisan anak-anak perempuan yang duduk untuk sholat Tarawih, saya melihat seorang ibu muda. Umurnya mungkin tak jauh berbeda dari anak-anak SMP, belasan tahun. Ia menggandeng seorang balita yang tampaknya adalah anaknya sendiri. Awalnya saya mengira dia hanya kakak dari si anak kecil itu, mungkin ibunya minta dia bawa adiknya ikut tarawih. Pikir saya, tapi setelah memperhatikan interaksi mereka, terutama cara ia mengurus serta panggilan kecil dari si anak saya mulai yakin bahwa dia adalah ibunya.

Pemandangan itu mengganggu saya. Bukan karena keberadaan anak kecil di masjid, itu hal yang biasa dan justru menyenangkan. Tapi karena saya menyaksikan bagaimana ibu muda itu menjadi pusat perhatian bukan karena keteladanannya, tapi karena dia sibuk bergosip dengan anak-anak lain, bahkan saat shalat tarawih sedang berlangsung. Anak yang dibawanya? Dititipkan begitu saja ke teman-teman kecil lainnya. Tidak ada kontrol, tidak ada pengasuhan. Yang ada hanya canda tawa yang nyaring di sela-sela rakaat, dan obrolan remaja yang harusnya ada di sekolah-sekolah. Kamu ikut beladiri apa? Pak guru kemarin marah kenapa lagi? Dan obrolan-obrolan serupa lainnya.

Malam itu, saya sadar betul ini adalah cobaan saya waktu tarawih. Harus mengatur anak-anak yang mengganggu konsentrasi sholat orang lain, dimana orang disekitarnya enggan untuk menegor. Hal lain yang lebih penting, saya merasa seperti ditampar oleh realitas: ini adalah wajah nyata dari pernikahan dini yang sering kita anggap sebagai persoalan jauh, padahal sangat dekat. Bahkan bisa duduk di saf yang sama dengan kita.

Pernikahan Dini: Tradisi yang Belum Selesai Diperjuangkan

Saya bukan orang yang baru dalam menyuarakan penolakan terhadap praktik pernikahan dini. Tapi malam itu saya melihat sendiri bentuk “mudarat” yang sering saya baca dalam literatur ilmiah. Ia hidup, ia hadir di tengah masyarakat, dan ia membentuk ulang masa depan generasi muda perempuan yang belum selesai belajar tentang dirinya sendiri, tapi sudah diberi tanggung jawab membesarkan manusia lain.

Banyak yang masih berpikir bahwa menikah muda adalah solusi dari berbagai persoalan sosial. Katanya, daripada pacaran, lebih baik menikah. Katanya, menikah bisa membuat perempuan lebih cepat “mapan”. Katanya, itu adalah bagian dari takdir dan kodrat perempuan. Tapi siapa yang berani bertanya: apakah kesiapan mental, pendidikan, dan pengasuhan bisa dimajukan hanya karena usia biologis telah melewati masa pubertas?

Kenyataan yang saya lihat adalah: seorang gadis belasan tahun yang belum selesai dengan dirinya sendiri, kini harus bertanggung jawab atas anak yang bahkan belum bisa menyebutkan namanya dengan benar. Ia belum tahu cara mendidik, belum tahu cara menjaga lisan, bahkan belum tahu cara menahan emosi di tempat ibadah. Tapi dia sudah menjadi seorang ibu.

Dampak Berlapis dari Pernikahan Dini

Saya ingin kita bicara tentang apa yang tidak terlihat.

Secara biologis, tubuh anak perempuan memang mengalami kematangan pada usia belasan tahun, tapi bukan berarti organ tubuhnya siap menghadapi kehamilan dan persalinan. Banyak kasus komplikasi kehamilan dan kematian ibu muda karena tubuh mereka belum cukup kuat. Belum lagi risiko terhadap bayi yang dilahirkan.

Dari sisi mental, menjadi orang tua bukan perkara ringan. Butuh ketenangan, kematangan, dan kestabilan emosi yang tidak bisa dipaksa tumbuh hanya karena sudah menikah. Anak-anak yang menikah dini tidak diberi cukup waktu untuk mengenal diri mereka sendiri, mengeksplorasi mimpi-mimpinya, atau bahkan belajar mengelola emosi. Akibatnya, anak yang mereka lahirkan tidak tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara emosional.

Pendidikan? Jelas terganggu. Banyak ibu muda yang terpaksa putus sekolah. Ketika teman-temannya sibuk dengan ujian sekolah dan organisasi remaja, dia harus mengurus popok dan mengatur jadwal imunisasi anak. Ia tidak sempat berpikir tentang cita-cita, karena dunianya terpaksa dipersempit oleh ikatan yang mungkin bahkan bukan keputusannya sendiri.

Secara sosial, pernikahan dini justru memperkuat lingkaran kemiskinan. Ketika pasangan menikah muda tanpa bekal pendidikan dan keterampilan yang cukup, maka potensi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak juga minim. Akibatnya, keluarga muda ini menjadi rentan, hidup dari bantuan orang tua atau pekerjaan informal yang tidak menjamin kesejahteraan. Anak yang tumbuh di lingkungan semacam ini berisiko mengalami hal yang sama di masa depan—dan siklus pun berulang.

Bukan Soal Siapa Salah, Tapi Apa Solusinya?

Saya tidak sedang ingin menyalahkan ibu muda yang saya lihat di masjid malam itu. Saya justru merasa iba. Ia adalah produk dari sistem sosial yang membiarkannya menikah sebelum waktunya. Mungkin tidak ada yang mengajarinya tentang pentingnya pendidikan, tentang hak atas tubuh dan masa depan. Mungkin ia hanya menjalani apa yang dianggap “normal” di lingkungannya. Tapi kita, sebagai masyarakat, tidak bisa terus diam dan membiarkan hal ini berlalu.

Pendidikan menjadi kunci penting. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, tentang hak anak, tentang perencanaan masa depan harus mulai dibicarakan di rumah, di sekolah, dan di tempat ibadah. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan orang tua harus berperan aktif untuk menyampaikan bahwa menikah bukan solusi dari masalah, tapi sebuah proses yang membutuhkan kesiapan.

Negara pun punya tanggung jawab. Regulasi batas usia minimal menikah harus ditegakkan dengan serius. Tidak boleh ada dispensasi menikah tanpa alasan yang benar-benar kuat dan melalui proses pengawasan ketat. Tidak cukup hanya mengatur, tapi juga mendampingi.

Yang terpenting: kita harus mulai mengubah pola pikir masyarakat bahwa nilai seorang perempuan tidak ditentukan dari seberapa cepat dia menikah atau punya anak. Tapi dari seberapa ia diberi kesempatan untuk berkembang, belajar, dan berkontribusi bagi lingkungan.

Mari Bicara, Mari Bertindak

Malam itu, selepas tarawih, saya pulang dengan hati berat. Tapi juga dengan semangat yang tumbuh. Saya percaya, setiap kita yang menyadari bahaya pernikahan dini punya peran untuk mengubahnya. Dari hal kecil: berbicara dengan adik kita, membagikan edukasi di media sosial, atau menyuarakan ini dalam forum publik.

Pernikahan dini bukan hanya soal dua anak muda yang menikah. Ia adalah soal masa depan bangsa. Dan jika kita ingin membangun generasi yang kuat, sehat, dan berdaya, maka kita harus mulai dari memastikan mereka tumbuh dengan utuh—sebagai anak-anak, bukan dipaksa menjadi orang dewasa sebelum waktunya.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Essay Ke PMII-an

Strategi Pengembangan Kader- Artikel PKL-I PMII Sampang

MAKALAH DASAR LOGIKA